Minggu, 09 November 2014

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)



Perbandingan pengolahan sampah di Indonesia dengan pengolahan sampah di Jepang

Amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan (Pasal 1 ayat 1 PP 27 Tahun 1999). Mengenai amdal tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia, AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.

            Dalam kesempatan ini saya akan menjelaskan tentang amdal dengan kasus perbandingan / perbedaan pengolahan sampah di Indonesia dengan pengolahan sampah di luar negeri khususnya di Negara Jepang.
           
            Pengolahan sampah di Indonesia khususnya di kota Bantar Gebang sebagai perkumpulan sampah dari berbagai macam kota Indonesia akan di buang ke kota Bantar Gebang. Namun hal tersebut bukan lagi tempat pembuangan terakhir (TPA) melainkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Untuk saat ini TPST Bantar Gebang adalah TPST terbesar dengan sistem pengelolaan sampah terbaik se-Indonesia. Dengan luas mencapai 110,3 hektar.
           
            TPA Bantar Gebang mulai aktif pada tahun 1989. Pada saat itu sampah yang masuk adalah 5000-6000 ton/ hari. Pada saat itu lahannya adalah seluas 108 hektar. Hampir selama 20 tahun, sistem pengelolaan sampah hanya dengan open dumping dan sanitary landfill.
Sanitary landfill : Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup (G.H. Tchobanoglous, H. Theissen, 1993)

            Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan (Enri Damanhuri, 2010)Kemudian Pemrov DKI Jakarta membuka tender untuk pengelolaan TPA ini, dan akhirnya pada Desember 2008 dimenangkan oleh kedua perusahaan tersebut di atas. Kemudian pemerintah menggantikan nama nya menjadi tempat pengolahan sampah terpadu. TPST Bantar Gebang yang memiliki luas total daerah 110,3 Ha ini terletak di Kota Bekasi. Posisi TPST dikelilingi oleh 4 kelurahan, yaitu Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Ciketing Udik.
Visi dari pengelolaan TPST Bantar Gebang ini adalah sebagai pusat studi persampahan dan alternatif pariwisata. Saat ini luasnya mencapai 110 hektar, dan akan mengalami penambahan 10,5 hektar untuk tempat pengolahan. Saat ini, TPST itu sudah menghasilkan 60 ton pupuk kompos setiap hari. Jika pemasaran kompos membaik, produksi ini dapat ditingkatkan. Hanya saja, yang terjadi sejak awal hingga kini, pemasaran pupuk organik itu agak sulit, perlu dukungan pemerintah atas penggunaan pupuk organik. Pemanfatan gas metan menggunakan teknologi sudah menghasilakan listrik 5-6 MW. Saat musim kemarau, pernah mengasilkan 10 MW. Kapasitas teknologi terpasang untuk pembangkit listrik sudah mampu memproduksi 16 MW. Namun, karena kandungan gas metan tidak stabil, produksi listrik belum maksimal. Hal itu diungkapkan Direktut Utama PT GTJ, Rekson Sitorus, kepada SH belum lama ini, terkait adanya desakan dari DPRD Kota Bekasi agar biaya tipping fee pengolahan sampah dinaikkan. Saat ini, dari hasil pemilahan sampah organik dengan sampah non-organik, GTJ joint operation (jo) PT NOEI, telah membangun pabrik daur ulang sampah plastik.
            TPST terbagi menjadi 5 zona. Truk yang masuk ke dalam TPST ini kurang lebih 1000 truk/hari. Biaya yang didapatkan kedua perusahaan ini seharunya adalah Rp 230.000,00/ ton, sedangkan untuk community development kota Bekasi dipotong 20% sehingga hanya dibayarkan Rp105.300,00/ton.
            Sebelum truk masuk ke arena TPST, dilakukan penimbangan terlebih dahulu di jembatan timbang yang pengawasannya bertanggung jawab ke Dinas Kebersihan. Sejumlah 53% dari jumlah sampah di TPST ini telah menjadi kompos. Sampah yang diakui cukup mendominasi adalah sampah-sampah plastik.
TPST menggunakan 4 metode dalam bagian pengelolaan sampah :
  1. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)
  2. Unit Composting dan Landfill
  3. Power Plant
1. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)
            Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis.(Enri Damanhuri, 2010)

            Sebelumnya apakah kalian pernah memperhatikan air hitam yang keluar dari tumpukan sampah? Nah itulah yang disebut dengan air lindi. Maka dari itu perlu dilakukan pengolahan airnya agar aman dibuang ke badan air.
berikut ini adalah bagian-bagian yang ada di IPAS :
  • Kolam Equalisasi
  • Kolam Fakultatif
  • RBD ( Rotating Biological Denitrification)
  • Kolam Aerob
  • Ruang Proses Kimia
  • Bak Pengandap
  • Polishing Pond
  • Kolam Lumpur
Hasil akhir airnya jangan bayangkan akan jernih. Ternyata di bak terakhir pun keluarannya akan tetap berwarna hitam. Hanya saja kandungannya sudah tidak berbahaya lagi dan memenuhi standar air baku. Lumpur yang dihasilkan dari proses ini dibuang ke landfill dimana landfill adalah proses finishing lumpur yang telah dihasilkan oleh air lindi.

2. Unit Composting
            Sampah yang masuk ke proses ini adalah 500 ton/hari dan 15-20% nya berhasil menjadi pupuk. Sayangnya sampah yang melewati proses ini hanya sampah dari lokasi-lokasi terpilih, yaitu pasar tradisional seperti pasar Kramat Jati, Jembatan Lima, Cibubur, dll.

            Dengan cara proses sampah disortir secara manual dilihat dari ukuran sampah. Kemudian dimasukan ke conveyor pemilah. Lalu dihancurkan di penghancur. Kemudian di conveyor feeder terpisahkan sampah yang bisa menjadi kompos dan tidak. Sampah yang tidak bisa masuk dalam proses composting di press untuk dijadikan briket. Kompos yang dihasilkan berbentuk bubuk. dilakukan proses lagi agar dijadikan bentuk butiran. Proses pembuatan pupuk butiran (granule) adalah dengan penambahan 15-20% percikan air, kemudian setelah panas mencapai 65 derajat diberikan mikroba lagi (karena pada suhu ini beberapa mikroba mati). Sehingga lama proses awal hingga akhir adalah 1,5 bulan hingga kompos siap di pasarkan pada konsumen. Biasanya pasarnya adalah sampai ke Pulau Sumatera.

3. Power Plant
            Sebagian besar timbunan sampah di TPST Bantar Gebang ditutup dan dipasang pipa di atasnya. Tujuannya adalah untuk menangkap gas metan yang dihasilkan oleh sampah. Proses degradasi anaerob (tanpa oksigen) akan menghasilkan gas metan. Gas metan ini kemudian dialirkan ke mesin untuk perolehan listrik. Saat ini TPST Bantar Gebang telah menghasilkan listrik 1220 - 2000 kW! Di Indonesia, hanya Bantar Gebang dan Bali yang sudah memiliki alat-alat ini.

            Setelah saya menjelaskan pengolahan sampah di Indonesia saya akan menjelaskan sedikit pengolahan sampah di Negara maju khusus nya di Jepang.


Pengolahan sampah di Negara jepang
            Jepang termasuk dengan Negara maju khususnya dalam pengolahan sampah. Hal ini karena orang Jepang terkenal sangat serius menangani soal sampah. Dibanding negara maju lainnya, masyarakat Jepang memang paling unggul dalam mengelola sampah, khususnya sampah rumah tangga.

            Pengelolaan sampah di Jepang. Secara prinsip sampah dibagi dalam empat jenis, yaitu: sampah bakar (combustible), sampah tidak bakar (non-combustible), sampah daur ulang (recycle), dan sampah ukuran besar. Ada jadwal hari-hari tertentu yang mengatur jenis sampah apa yang dapat dibuang. Petugas akan mengambil sampah setiap hari sesuai dengan jadwal dan jenis sampahnya. Hal ini sangat berbeda dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

            Hal yang paling penting untuk sampah minyak goreng atau minyak jelantah, tidak boleh dibuang ke saluran air. Hal tersebut dikhawatirkan mencemari air tanah. Oleh karena itu, di Jepang dijual bubuk yang berfungsi  membekukan sisa minyak goreng tersebut. Bubuk itu ditaburi di atas minyak hingga berubah menjadi gel. Setelah itu,  minyak jelantah yang sudah berbentuk gel dapat dibuang ke tempat sampah.Hal yang harus di perhatikan adalah membeli plastik khusus sampah. Setelah sampah dipisahkan dan dimasukkan ke plastik tersebut sesuai jenisnya, sampah diletakkan di luar rumah. Selanjutnya, petugas akan datang mengumpulkan sampah. Masalahnya, mereka hanya mengambil plastik sampah yang tepat jenis dan sesuai jadwalnya. Kalau salah jadwal, atau jenisnya kita campur-campur (misalnya botol minum di sampah makanan), sampah tidak akan diangkat

Proses Pengolahan Sampah di Jepang
            Truk-truk sampah masuk ke pusat pengolahan melalui pintu utama. Di situ truk tersebut ditimbang untuk mengetahui berat sampah yang dibawa. Hal ini sama seperti di Negara kita (Indonesia) pada tahapan awal. Dari sana sampah-sampah dimasukkan ke tempat pembakaran. Timbunan sampah yang berasal dari sisa-sisa makanan, kotoran dapur, dimasukkan ke dalam sebuah tempat penampungan besar. Ada bungkus tahu, sisa tulang ikan, dan aneka makanan sisa lainnya dimasukkan ke tempat itu. Dari situ, sampah dimasukkan ke tempat pembakaran dan kemudian dibakar.

            Hal yang menarik adalah ternyata ampas dari sampah-sampah tersebut bisa dimanfaatkan menjadi “cone-block” untuk lapisan jalanan. Jadi saya baru tahu kalau cone-blok di trotoar kota Tokyo sebagian di antaranya dibuat dari sampah yang kita buang setiap hari. Selain bermanfaat untuk membuat cone-block, pembakaran sampah di Jepang juga dapat menjadi salah satu sumber daya penghasil listrik. Sementara untuk cairan dari sampah basah, pusat pengolahan tersebut memiliki mesin penyulingan air yang fungsinya membersihkan air dari sampah, sebelum kemudian dialirkan kembali ke sungai.

            Sistem daur ulang di Jepang menganut dua langkah dasar. Pertama, pemisahan material dan pengumpulan. Kedua, pemprosesan dan daur ulang sampah. Kedua hal tersebut bisa berhasil karena dilakukan secara gotong royong antara masyarakat dan pemerintah. Setiap rumah tangga di Jepang secara sadar melakukan langkah pertama. Sementara pihak pemerintah daerah melakukan langkah kedua. Masyarakat jepang sangat menyadari dalam Kesadaran, gotong royong, dan kerjasama yang baik antar warga, pemerintah, dan segenap elemen masyarakat menjadikan pengolahan sampah di Jepang dapat berjalan dengan lancar.

            Setelah saya telah menjelaskan perbandingan antara pengolahan sampah di Indonesia dan pengolahan sampah di jepang adapun pendapat / saran yang saya dapatkan.

            “Kita harus menyadari pentingnya dalam pengelolaan sampah di Indonesia, sebagai bagian dari kepedulian kita pada lingkungan hidup. Walaupun tetap saja masih ada orang yang membuang sampah sembarangan. Mayoritas orang tersebut selalu menyepelekan padahal dengan membuang sampah sembarangan akan menimbulkan beberapa penyakit, bau tidak sedap dan banjir. Pemerintah juga harus menegaskan dalam pengelolaan/pembuang sampah pada tempat nya. Seharusnya Negara kita (Indonesia) membuat pabrik sampah tersendiri seperti yang terdapat di Negara jepang. Hal ini sangat berbanding jauh dengan Negara kita. Jika Indonesia tempat pengolahan sampah khususnya di kota Bantar Gebang, Bekasi. Di lakukan dengan cara pengelolaan secara terbuka. Pengolahan tersebut bisa dikategorikan sangat terbaik hanya di Negara Indonesia saja. Namun pengolahan tersebut masih saja tercemar nya udara, amdal, bau tidak sedap, dengan gas oktan yang berbahaya pada warga sekitar kota Bantar Gebang. Dan juga kita harus menemukan hal yang baru dalam pengolahan sampah, fungsi apa saja yang bisa di manfaatkan lagi dalam pengolahan sampah tersebut. Hal ini juga masih dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangunnya pabrik sampah tersendiri di Indonesia. Dan yang paling penting perlu adanya kesadaran diri kita sendiri sebagaimana pentingnya pembuangan sampah secara teratur dan tidak sembarangan. Bukankah jika kita hidup dengan bersih dan jauh dari sampah akan menimbulkan yang indah dan nyaman,”